Hampir tiba malam itu. Salah satu malam cerah musim
penghujan. Hari kesepuluh. Seperti malam itu, hari kesepuluh lima bulan lalu.
Angin menyapa pendaran cahaya lampu kota. Berbaur
dengan hiruk pikuk manusia di pinggir jalan. Dengan tatapan bulan separuh di
langit yang teduh, bangunan bersejarah itu mulai ditinggalkan.
Entah berapa kali memutar, kita putuskan berhenti
sejenak. Senyum itu seperti bulan sabit yang merona di matamu. Peluh itu
seperti bening embun di garis wajahmu. Kata-kata mengalir senada aliran sungai
di antara dinding-dinding batu.
Masihkah membekas di ingatanmu?
Aku sudah mencoba melupakan. Kenangan itu, renyah
candamu, pahitnya nasihatmu, berputar-putar seperti roda-roda kuda besi
kesayanganmu. Aku memang bodoh ataukah sedang membodohi diri sendiri? Atau
keduanya? Sedang engkau, aku sadari, tak mungkin mengingat sepotong puzzle
yang sudah tersembunyi dari kehidupanmu.
Hampir tiba waktu itu. Hari kesepuluh bulan ini.
Telah berlalu lima bulan dan aku masih saja duduk menghadap jalan lingkar itu.
Di tengah-tengah kota ini.
Gerimis tak membuatku beranjak. Kupandangi arah kau
mungkin datang. Aku tahu, kau tak kan datang. Kesibukanmu bertambah banyak. Kau
semakin terasa jauh dariku.
Musim sudah berganti. Tembakau-tembakau sudah
kering. Bau tanah bercampur gerimis. Kau seperti angin barat yang tertiup ke
utara.