Wahai engkau, yang mengatakan pintunya
tak terkunci untukku, mempersilakan aku masuk dan menghuni ruangnya, menyimpan
sesuatu yang kau tak ingin itu hilang, masihkah kau ingat padaku? Jika kau
masih ingat, tengoklah, aku masih diam di sini, menunggumu yang terus pergi,
karena kau bilang kau tak ingin aku hilang, aku tak bisa pergi. Bolehkah aku
bertanya, kapan kau kembali? Aku ingin kita bicara. Jika kau tak lagi sanggup
menyimpannya, izinkan aku mengambilnya kembali. Melewati jalan yang kau
tunjukkan padaku dulu. Aku akan menutup pintumu dari luar.
***
Di bawah beringin itu, Sawitri masih
terpaku. Debu berterbangan disapu angin. Sawitri tak jua beranjak. Matanya
menatap jalan di depannya nanar. Ada kekosongan mendesak di relung hatinya.
Sebuah lubang menembus ke dalamnya.
Sudah berapa waktu Sawitri terdiam
begitu. Di bawah beringin di tengah kota itu, dia menanti. Mengharapkan di
balik debu itu ada yang datang padanya. Membunuh kekosongan.
“Jalan ini semakin panjang, bukan?”
“Ya. Lalu, bagaimana jika aku tersesat
dan hilang di dalamnya?”
“Disimpan saja biar tak hilang.”
“Di mana?”