Sekapur Sirih

Selamat datang di Cerita Kehidupan...
Terima kasih telah mengunjungi saya di sini...
Blog ini berisi catatan-catatankecil saya, tulisan-tulisan saya selama ini, baik berupa tulisan fiksi, nonfiksi, atau pun hanya catatan ringan..
Sebelum membuka blog ini lebih jauh, Anda diharapkan:
1. Jangan meng-copypaste tulisan di blog ini tanpa menyertakan link alamat blog ini http://ceritahidupdaning.blogspot.com seperti saya juga akan menyertakan link blog yang saya copypaste jika saya meng-copypaste tulisan orang lain
2. Menghargai tulisan-tulisan di blog ini adalah hasil karya seseorang yang dibuat sepenuh hati
3. Berilah komentar dengan hati nurani dan jujur agar saya bisa lebih baik dalam menulis di blog ini
Demikian, terima kasih telah meluangkan waktu membaca catatan kecil saya....

Kamis, 04 September 2014

Bulan Biru Memerah Di Langitku

Bulan biru memerah di langitku
terluka oleh bintang-bintang sahabatku
sinar mentari mengkhianati jalurnya sendiri
Bulan biru memerah di langitku
tercabik mentari yang tak kunjung memahami
padahal dia kembali jua nanti
Harus dengan apa aku menasihati
apakah perlu luka kutampakkan padanya
mentari tak kunjung mengerti
Bulan biru memerah di hatiku
padahal kau tahu,
mentari pasti kembali lagi pada bulan biru
dan terus begitu

aku tak mampu lagi

Jumat, 22 Agustus 2014

Dia, Ibuku

Rembulan masih anggun di langit, bintang masih berpendar, dan aroma embun masih menempel di daun kemuning. Sebelum kokok pertama terdengar, asap mengepul di belakang. Dia bergelut asyik dalam dunianya.
Fajar memerahkan langit, menggantikan rembulan. Satu per satu jiwa terbangun dari alam mimpi. Dia tersenyum berikan secangkir kopi dan sepotong ubi.
Nada-nada tinggi dariku tak pernah jadi deritanya. Tangannya tetap halus dan cekatan. Wajahnya tetap teduh menenangkan.
Matahari meninggi dalam hidupnya. Mungkin sebentar lagi akan meredup dan tenggelam. Gurat-gurat wajahnya masih menyimpan sejuta kebahagiaanku.
Dia, perempuan yang mempertaruhkan nyawanya untukku.
Dia,

Ibuku.

Di Ruang Penyimpanan


Wahai engkau, yang mengatakan pintunya tak terkunci untukku, mempersilakan aku masuk dan menghuni ruangnya, menyimpan sesuatu yang kau tak ingin itu hilang, masihkah kau ingat padaku? Jika kau masih ingat, tengoklah, aku masih diam di sini, menunggumu yang terus pergi, karena kau bilang kau tak ingin aku hilang, aku tak bisa pergi. Bolehkah aku bertanya, kapan kau kembali? Aku ingin kita bicara. Jika kau tak lagi sanggup menyimpannya, izinkan aku mengambilnya kembali. Melewati jalan yang kau tunjukkan padaku dulu. Aku akan menutup pintumu dari luar.
***
Di bawah beringin itu, Sawitri masih terpaku. Debu berterbangan disapu angin. Sawitri tak jua beranjak. Matanya menatap jalan di depannya nanar. Ada kekosongan mendesak di relung hatinya. Sebuah lubang menembus ke dalamnya.
Sudah berapa waktu Sawitri terdiam begitu. Di bawah beringin di tengah kota itu, dia menanti. Mengharapkan di balik debu itu ada yang datang padanya. Membunuh kekosongan.
“Jalan ini semakin panjang, bukan?”
“Ya. Lalu, bagaimana jika aku tersesat dan hilang di dalamnya?”
“Disimpan saja biar tak hilang.”
“Di mana?”