Wahai engkau, yang mengatakan pintunya
tak terkunci untukku, mempersilakan aku masuk dan menghuni ruangnya, menyimpan
sesuatu yang kau tak ingin itu hilang, masihkah kau ingat padaku? Jika kau
masih ingat, tengoklah, aku masih diam di sini, menunggumu yang terus pergi,
karena kau bilang kau tak ingin aku hilang, aku tak bisa pergi. Bolehkah aku
bertanya, kapan kau kembali? Aku ingin kita bicara. Jika kau tak lagi sanggup
menyimpannya, izinkan aku mengambilnya kembali. Melewati jalan yang kau
tunjukkan padaku dulu. Aku akan menutup pintumu dari luar.
***
Di bawah beringin itu, Sawitri masih
terpaku. Debu berterbangan disapu angin. Sawitri tak jua beranjak. Matanya
menatap jalan di depannya nanar. Ada kekosongan mendesak di relung hatinya.
Sebuah lubang menembus ke dalamnya.
Sudah berapa waktu Sawitri terdiam
begitu. Di bawah beringin di tengah kota itu, dia menanti. Mengharapkan di
balik debu itu ada yang datang padanya. Membunuh kekosongan.
“Jalan ini semakin panjang, bukan?”
“Ya. Lalu, bagaimana jika aku tersesat
dan hilang di dalamnya?”
“Disimpan saja biar tak hilang.”
“Di mana?”
“Maumu di mana?”
“Mungkin di hatimu?”
“Bolehkah kusimpan di hatiku?”
“Aku tak tahu di mana hatimu.”
“Ikuti saja jalannya.”
“Ada pintu di sana.”
“Masuk saja. Tidak kukunci untukmu.
Tinggallah di sana. Jangan hilang.”
Sejak saat itu Sawitri tinggal di sana.
Duduk menyiapkan senyum manis dan sejuta embun yang menyejukkan. Menanti lelaki
itu kembali padanya. Berbagi cerita hidup dengan segala gelisahnya.
Tiap dia datang, Sawitri telah
meyiapkan sambutan indah meski hanya kata-kata. Purnama membekas dalam setiap
pesannya. Menghilangkan lelah yang menyertai kedatangannya.
Tak ada kata cinta antara mereka
memang. Bagi Sawitri, semua yang terjadi, lebih dari sekadar kata cinta. Perempuan
desa sepertinya, meski berijazah sarjana, tetap saja memahami cinta dengan
keluguan dan ketulusannya. Tak perlu kata-kata muluk, tak perlu janji.
Dengan keterbatasan keduanya membangun
dunia. Dunia berbeda dari yang lainnya. Di dalamnya, ada kekuatan untuk saling
menegakkan saat gundah. Ada kelembutan untuk merangkaikan cita dan harapan. Ada
api membakar semangat. Ada air mencairkan kekakuan.
Senyum bulan sabit lelaki itu membayang
dalam kehidupan Sawitri. Masa lalunya tak penting seperti masa lalu Sawitri tak
penting bagi lelaki itu. Dunia keduanya tak tersentuh badai. Bahkan, tak ada
yang tahu.
“Mungkinkah aku bisa bersamamu sedang
kita begitu berbeda.”
“Perbedaan apa. Kau bilang semua orang
ada kurang lebihnya, tapi semua sama makhluk Tuhan, bukan?”
“Bahkan kelayakanku pun dipertanyakan.”
“Kau bahkan tak tahu aku,
kelayakankulah yang perlu dipertanyakan.”
Lelaki itu menatapnya.
“Kau tak tahu masa laluku.”
“Kau juga. Apa itu penting?”
“Mungkin. Jika kau tahu, mungkin kau
tak akan di sini.”
“Aku mungkin lebih buruk. Baiklah, mari
kita bagi masa lalu kita. lalu,kita kubur juga bersama. Aku tak ingin dibayangi
lagi. Itu membuatku sesak.”
“Itu membuatku tak bisa berjalan, masa
lalu.”
“Jadi, biarkan saja. Sekarang dan
nanti, kitalah yang membentuknya.”
Sawitri terdiam.
“Sedang yang lain?”
“Biar saja mereka menerka. Mereka
takkan pernah tahu apa-apa.”
“Lalu, bagaimana nantinya mereka tahu?”
“Tak usah dipikirkan.”
Tak ada pertengkaran. Tak ada
kesalahpahaman. Tak ada perpisahan. Tiba-tiba dia menghilang. Lelaki itu
menguap begitu saja dari kehidupan Sawitri.
Jejaknya menjauh. Sulit diikuti.
Sawitri merunut tali peristiwa lewat
teman-temannya. Jawaban masih samar. Tak begitu jelas baginya. Lalu,
terdamparlah dia di sini. Di bawah beringin tua ini. Tempat pertama dia bertemu
personal dengan lelaki itu.
Bukan kembalinya yang dia harap. Hanya
kepastian atas suatu gelisah. Kelelahan menanti di sebuah ruang, sendirian.
Menatap keluar jendela dengan hiasan alam.
Di bawah beringin itu, Sawitri
menunggu. Sama dalam ruang penyimpanan yang dia terdampar di sudutnya.
Orang-orang berlalu lalang di sekitarnya. Hingar-bingar yang tak menyentuh
kesendiriannya.
Sawitri diam. Kali ini dia benar-benar
tak bisa beranjak. Dia ingin membuka pintu yang membatasi ruangnya dan beranda
di depan. Tak pernah berani. Hanya berdiri memandang dari balik jendela.
Kabar itu datang kemudian, bersama
seorang sahabat. Sementara dia bercerita, Sawitri melihat dari ruangnya. Dia
melihat beranda dan taman yang hijau. Sebuah bangku panjang di tepinya. Lelaki
itu di sana, bercengkerama dengan seorang gadis, bukan dia. Dia terpana.
Sahabatnya mengulurkan sesuatu. Sawitri
menatapnya.
“Ini dari dia?”
“Ya. Dia bilang khusus buatmu.”
“Dia masih ingat aku?”
“Ya. Bacalah.”
Dipandanginya surat itu lekat-lekat.
Perlahan, dia mengeja kata di dalamnya. Hanya dua kalimat dengan tanda kasih
lelaki itu. Sawitri terhuyung.
Hujan mengguyurnya di ruang penyimpanan
itu. Sementara, mentari cerah di beranda bersama lelaki itu dan gadisnya.
Sawitri tahu, justru dia kini tak bisa ke mana-mana. Semakin terasing di
ruangannya.
Tangannya tergolek. Kertas itu
terjatuh.
Izinkan
aku tetap menyimpannya di hatiku.
Apapun terjadi, jangan hilang.
***
*)selesai di Temanggung, 16 November
2012
untuk seorang sahabat di ujung kabupaten.
Jendela Nonton Bioskop xxx Dan Lain-Lain Ada Di Sini Pokoknya
BalasHapusxxx croot
xxx hoot
xxx basah
xxx birahi
xxx semi
xxx horni