Sekapur Sirih

Selamat datang di Cerita Kehidupan...
Terima kasih telah mengunjungi saya di sini...
Blog ini berisi catatan-catatankecil saya, tulisan-tulisan saya selama ini, baik berupa tulisan fiksi, nonfiksi, atau pun hanya catatan ringan..
Sebelum membuka blog ini lebih jauh, Anda diharapkan:
1. Jangan meng-copypaste tulisan di blog ini tanpa menyertakan link alamat blog ini http://ceritahidupdaning.blogspot.com seperti saya juga akan menyertakan link blog yang saya copypaste jika saya meng-copypaste tulisan orang lain
2. Menghargai tulisan-tulisan di blog ini adalah hasil karya seseorang yang dibuat sepenuh hati
3. Berilah komentar dengan hati nurani dan jujur agar saya bisa lebih baik dalam menulis di blog ini
Demikian, terima kasih telah meluangkan waktu membaca catatan kecil saya....

Jumat, 22 Agustus 2014

Di Ruang Penyimpanan


Wahai engkau, yang mengatakan pintunya tak terkunci untukku, mempersilakan aku masuk dan menghuni ruangnya, menyimpan sesuatu yang kau tak ingin itu hilang, masihkah kau ingat padaku? Jika kau masih ingat, tengoklah, aku masih diam di sini, menunggumu yang terus pergi, karena kau bilang kau tak ingin aku hilang, aku tak bisa pergi. Bolehkah aku bertanya, kapan kau kembali? Aku ingin kita bicara. Jika kau tak lagi sanggup menyimpannya, izinkan aku mengambilnya kembali. Melewati jalan yang kau tunjukkan padaku dulu. Aku akan menutup pintumu dari luar.
***
Di bawah beringin itu, Sawitri masih terpaku. Debu berterbangan disapu angin. Sawitri tak jua beranjak. Matanya menatap jalan di depannya nanar. Ada kekosongan mendesak di relung hatinya. Sebuah lubang menembus ke dalamnya.
Sudah berapa waktu Sawitri terdiam begitu. Di bawah beringin di tengah kota itu, dia menanti. Mengharapkan di balik debu itu ada yang datang padanya. Membunuh kekosongan.
“Jalan ini semakin panjang, bukan?”
“Ya. Lalu, bagaimana jika aku tersesat dan hilang di dalamnya?”
“Disimpan saja biar tak hilang.”
“Di mana?”

“Maumu di mana?”
“Mungkin di hatimu?”
“Bolehkah kusimpan di hatiku?”
“Aku tak tahu di mana hatimu.”
“Ikuti saja jalannya.”
“Ada pintu di sana.”
“Masuk saja. Tidak kukunci untukmu. Tinggallah di sana. Jangan hilang.”
Sejak saat itu Sawitri tinggal di sana. Duduk menyiapkan senyum manis dan sejuta embun yang menyejukkan. Menanti lelaki itu kembali padanya. Berbagi cerita hidup dengan segala gelisahnya.
Tiap dia datang, Sawitri telah meyiapkan sambutan indah meski hanya kata-kata. Purnama membekas dalam setiap pesannya. Menghilangkan lelah yang menyertai kedatangannya.
Tak ada kata cinta antara mereka memang. Bagi Sawitri, semua yang terjadi, lebih dari sekadar kata cinta. Perempuan desa sepertinya, meski berijazah sarjana, tetap saja memahami cinta dengan keluguan dan ketulusannya. Tak perlu kata-kata muluk, tak perlu janji.
Dengan keterbatasan keduanya membangun dunia. Dunia berbeda dari yang lainnya. Di dalamnya, ada kekuatan untuk saling menegakkan saat gundah. Ada kelembutan untuk merangkaikan cita dan harapan. Ada api membakar semangat. Ada air mencairkan kekakuan.
Senyum bulan sabit lelaki itu membayang dalam kehidupan Sawitri. Masa lalunya tak penting seperti masa lalu Sawitri tak penting bagi lelaki itu. Dunia keduanya tak tersentuh badai. Bahkan, tak ada yang tahu.
“Mungkinkah aku bisa bersamamu sedang kita begitu berbeda.”
“Perbedaan apa. Kau bilang semua orang ada kurang lebihnya, tapi semua sama makhluk Tuhan, bukan?”
“Bahkan kelayakanku pun dipertanyakan.”
“Kau bahkan tak tahu aku, kelayakankulah yang perlu dipertanyakan.”
Lelaki itu menatapnya.
“Kau tak tahu masa laluku.”
“Kau juga. Apa itu penting?”
“Mungkin. Jika kau tahu, mungkin kau tak akan di sini.”
“Aku mungkin lebih buruk. Baiklah, mari kita bagi masa lalu kita. lalu,kita kubur juga bersama. Aku tak ingin dibayangi lagi. Itu membuatku sesak.”
“Itu membuatku tak bisa berjalan, masa lalu.”
“Jadi, biarkan saja. Sekarang dan nanti, kitalah yang membentuknya.”
Sawitri terdiam.
“Sedang yang lain?”
“Biar saja mereka menerka. Mereka takkan pernah tahu apa-apa.”
“Lalu, bagaimana nantinya mereka tahu?”
“Tak usah dipikirkan.”
Tak ada pertengkaran. Tak ada kesalahpahaman. Tak ada perpisahan. Tiba-tiba dia menghilang. Lelaki itu menguap begitu saja dari kehidupan Sawitri.  Jejaknya menjauh. Sulit diikuti.
Sawitri merunut tali peristiwa lewat teman-temannya. Jawaban masih samar. Tak begitu jelas baginya. Lalu, terdamparlah dia di sini. Di bawah beringin tua ini. Tempat pertama dia bertemu personal dengan lelaki itu.
Bukan kembalinya yang dia harap. Hanya kepastian atas suatu gelisah. Kelelahan menanti di sebuah ruang, sendirian. Menatap keluar jendela dengan hiasan alam.
Di bawah beringin itu, Sawitri menunggu. Sama dalam ruang penyimpanan yang dia terdampar di sudutnya. Orang-orang berlalu lalang di sekitarnya. Hingar-bingar yang tak menyentuh kesendiriannya.
Sawitri diam. Kali ini dia benar-benar tak bisa beranjak. Dia ingin membuka pintu yang membatasi ruangnya dan beranda di depan. Tak pernah berani. Hanya berdiri memandang dari balik jendela.
Kabar itu datang kemudian, bersama seorang sahabat. Sementara dia bercerita, Sawitri melihat dari ruangnya. Dia melihat beranda dan taman yang hijau. Sebuah bangku panjang di tepinya. Lelaki itu di sana, bercengkerama dengan seorang gadis, bukan dia. Dia terpana.
Sahabatnya mengulurkan sesuatu. Sawitri menatapnya.
“Ini dari dia?”
“Ya. Dia bilang khusus buatmu.”
“Dia masih ingat aku?”
“Ya. Bacalah.”
Dipandanginya surat itu lekat-lekat. Perlahan, dia mengeja kata di dalamnya. Hanya dua kalimat dengan tanda kasih lelaki itu. Sawitri terhuyung.
Hujan mengguyurnya di ruang penyimpanan itu. Sementara, mentari cerah di beranda bersama lelaki itu dan gadisnya. Sawitri tahu, justru dia kini tak bisa ke mana-mana. Semakin terasing di ruangannya.
Tangannya tergolek. Kertas itu terjatuh.
Izinkan aku tetap menyimpannya di hatiku.
Apapun terjadi, jangan hilang.
***

*)selesai di Temanggung, 16 November 2012
                                                                                              untuk seorang sahabat di ujung kabupaten.

1 komentar: