Sekapur Sirih

Selamat datang di Cerita Kehidupan...
Terima kasih telah mengunjungi saya di sini...
Blog ini berisi catatan-catatankecil saya, tulisan-tulisan saya selama ini, baik berupa tulisan fiksi, nonfiksi, atau pun hanya catatan ringan..
Sebelum membuka blog ini lebih jauh, Anda diharapkan:
1. Jangan meng-copypaste tulisan di blog ini tanpa menyertakan link alamat blog ini http://ceritahidupdaning.blogspot.com seperti saya juga akan menyertakan link blog yang saya copypaste jika saya meng-copypaste tulisan orang lain
2. Menghargai tulisan-tulisan di blog ini adalah hasil karya seseorang yang dibuat sepenuh hati
3. Berilah komentar dengan hati nurani dan jujur agar saya bisa lebih baik dalam menulis di blog ini
Demikian, terima kasih telah meluangkan waktu membaca catatan kecil saya....

Jumat, 17 November 2017

Sebuah Pengakuan

Fatamorgana, bukan? Terlihat indah, tetapi tak nyata. Itu sama halnya dengan memandangmu. Kau dengan segala yang ada padamu. Iya, kau!

Mencintaimu adalah hal yang paling aneh dalam hidupku. Betapa tidak, kau dan aku tak kan pernah bisa hidup di jalan yang sama, apalagi atap yang sama. Sebenarnya itu sudah terbukti dengan jauhnya rentang waktu antara kau dan aku selama ini.

Pernahkah kau memikirkan sejauh mana rasa yang ada akan berkembang? Sejak awal kita sudah memilih jalan yang berbeda. Jalan yang tak bisa kita paksakan untuk seiring dan searah. Jalan yang justru akan membuat kita menderita dengan tawa yang terus ada.

“Ini tak sepadan,”cetusku.

“Dengan apa?”

“Segalanya.”

Kau hanya menatapku waktu itu. Tatapan yang membuatku tak bisa berpaling darimu. Tapi, sungguh. Ini tak sepadan dengan apa yang telah dan akan terjadi.

“Kau dan aku tak bisa begini,”ucapku perlahan. “Ini akan melukai semuanya. Terutama kau dan aku.”

Kamis, 04 September 2014

Bulan Biru Memerah Di Langitku

Bulan biru memerah di langitku
terluka oleh bintang-bintang sahabatku
sinar mentari mengkhianati jalurnya sendiri
Bulan biru memerah di langitku
tercabik mentari yang tak kunjung memahami
padahal dia kembali jua nanti
Harus dengan apa aku menasihati
apakah perlu luka kutampakkan padanya
mentari tak kunjung mengerti
Bulan biru memerah di hatiku
padahal kau tahu,
mentari pasti kembali lagi pada bulan biru
dan terus begitu

aku tak mampu lagi

Jumat, 22 Agustus 2014

Dia, Ibuku

Rembulan masih anggun di langit, bintang masih berpendar, dan aroma embun masih menempel di daun kemuning. Sebelum kokok pertama terdengar, asap mengepul di belakang. Dia bergelut asyik dalam dunianya.
Fajar memerahkan langit, menggantikan rembulan. Satu per satu jiwa terbangun dari alam mimpi. Dia tersenyum berikan secangkir kopi dan sepotong ubi.
Nada-nada tinggi dariku tak pernah jadi deritanya. Tangannya tetap halus dan cekatan. Wajahnya tetap teduh menenangkan.
Matahari meninggi dalam hidupnya. Mungkin sebentar lagi akan meredup dan tenggelam. Gurat-gurat wajahnya masih menyimpan sejuta kebahagiaanku.
Dia, perempuan yang mempertaruhkan nyawanya untukku.
Dia,

Ibuku.

Di Ruang Penyimpanan


Wahai engkau, yang mengatakan pintunya tak terkunci untukku, mempersilakan aku masuk dan menghuni ruangnya, menyimpan sesuatu yang kau tak ingin itu hilang, masihkah kau ingat padaku? Jika kau masih ingat, tengoklah, aku masih diam di sini, menunggumu yang terus pergi, karena kau bilang kau tak ingin aku hilang, aku tak bisa pergi. Bolehkah aku bertanya, kapan kau kembali? Aku ingin kita bicara. Jika kau tak lagi sanggup menyimpannya, izinkan aku mengambilnya kembali. Melewati jalan yang kau tunjukkan padaku dulu. Aku akan menutup pintumu dari luar.
***
Di bawah beringin itu, Sawitri masih terpaku. Debu berterbangan disapu angin. Sawitri tak jua beranjak. Matanya menatap jalan di depannya nanar. Ada kekosongan mendesak di relung hatinya. Sebuah lubang menembus ke dalamnya.
Sudah berapa waktu Sawitri terdiam begitu. Di bawah beringin di tengah kota itu, dia menanti. Mengharapkan di balik debu itu ada yang datang padanya. Membunuh kekosongan.
“Jalan ini semakin panjang, bukan?”
“Ya. Lalu, bagaimana jika aku tersesat dan hilang di dalamnya?”
“Disimpan saja biar tak hilang.”
“Di mana?”

Senin, 22 Oktober 2012

Melepas Ingatan


Hampir tiba malam itu. Salah satu malam cerah musim penghujan. Hari kesepuluh. Seperti malam itu, hari kesepuluh lima bulan lalu.
Angin menyapa pendaran cahaya lampu kota. Berbaur dengan hiruk pikuk manusia di pinggir jalan. Dengan tatapan bulan separuh di langit yang teduh, bangunan bersejarah itu mulai ditinggalkan.
Entah berapa kali memutar, kita putuskan berhenti sejenak. Senyum itu seperti bulan sabit yang merona di matamu. Peluh itu seperti bening embun di garis wajahmu. Kata-kata mengalir senada aliran sungai di antara dinding-dinding batu.
Masihkah membekas di ingatanmu?
Aku sudah mencoba melupakan. Kenangan itu, renyah candamu, pahitnya nasihatmu, berputar-putar seperti roda-roda kuda besi kesayanganmu. Aku memang bodoh ataukah sedang membodohi diri sendiri? Atau keduanya? Sedang engkau, aku sadari, tak mungkin mengingat sepotong puzzle yang sudah tersembunyi dari kehidupanmu.
Hampir tiba waktu itu. Hari kesepuluh bulan ini. Telah berlalu lima bulan dan aku masih saja duduk menghadap jalan lingkar itu. Di tengah-tengah kota ini.
Gerimis tak membuatku beranjak. Kupandangi arah kau mungkin datang. Aku tahu, kau tak kan datang. Kesibukanmu bertambah banyak. Kau semakin terasa jauh dariku.
Musim sudah berganti. Tembakau-tembakau sudah kering. Bau tanah bercampur gerimis. Kau seperti angin barat yang tertiup ke utara.

Jumat, 27 Juli 2012

Macapat


Pada engkau, kubisikkan kinanthi yang mendayu. Lewat tetesan embun pagi itu dan deru angin.
Pada engkau, kujalin sutera yang mengharu. Lewat sayup angin dan aroma pucuk tembakau.
Bila rembulan telah memudar, bintang meredup, dan kereta menjauh. Pada hijau rerumputan
terpancang tapak yang perlahan tak terlihat. Lalu angin membawanya larut untuk dilupakan.
Samar bocah-bocah mendendangkan pocung dalam keriangan. Keriangan yang tak terpancar
dari pesan-pesanmu. Ingin kembali ke masa itu, dengan nyanyian tembakau, kau terbitkan
geguritan dan dandanggula. Tak sempat melantunkan asmaradhana. Pupuh itu sudah lebur
dalam megatruh.
Bila rembulan cahyanya lalu bersama angin dan pedati melabuhkan bebannya.
Pada engkau, kukirimkan lontar yang merapuh. Lewat kabut dua gunung di tepian.

Temanggung, 29 Mei 2012

Kamis, 22 Maret 2012

My Children, My World

(Tiba-tiba jadi ibu dari dua puluhan anak yang langsung besar: anak-anak SMK Anwarussholichin)

Selama bumi masih berputar, nafas masih berhembus, nyawa dikandung badan, tak ada yang kata berhenti untuk belajar..
Anak-anak belajar dari guru-gurunya..
Guru-guru belajar dari anak-anaknya..
i love you
you love me
with a big hug
yes we are a happy family..

Senandung kecil yang membangkitkan rasa memiliki...
Semangat, Nak! Raihlah mimpimu!