Sekapur Sirih

Selamat datang di Cerita Kehidupan...
Terima kasih telah mengunjungi saya di sini...
Blog ini berisi catatan-catatankecil saya, tulisan-tulisan saya selama ini, baik berupa tulisan fiksi, nonfiksi, atau pun hanya catatan ringan..
Sebelum membuka blog ini lebih jauh, Anda diharapkan:
1. Jangan meng-copypaste tulisan di blog ini tanpa menyertakan link alamat blog ini http://ceritahidupdaning.blogspot.com seperti saya juga akan menyertakan link blog yang saya copypaste jika saya meng-copypaste tulisan orang lain
2. Menghargai tulisan-tulisan di blog ini adalah hasil karya seseorang yang dibuat sepenuh hati
3. Berilah komentar dengan hati nurani dan jujur agar saya bisa lebih baik dalam menulis di blog ini
Demikian, terima kasih telah meluangkan waktu membaca catatan kecil saya....

Jumat, 17 November 2017

Sebuah Pengakuan

Fatamorgana, bukan? Terlihat indah, tetapi tak nyata. Itu sama halnya dengan memandangmu. Kau dengan segala yang ada padamu. Iya, kau!

Mencintaimu adalah hal yang paling aneh dalam hidupku. Betapa tidak, kau dan aku tak kan pernah bisa hidup di jalan yang sama, apalagi atap yang sama. Sebenarnya itu sudah terbukti dengan jauhnya rentang waktu antara kau dan aku selama ini.

Pernahkah kau memikirkan sejauh mana rasa yang ada akan berkembang? Sejak awal kita sudah memilih jalan yang berbeda. Jalan yang tak bisa kita paksakan untuk seiring dan searah. Jalan yang justru akan membuat kita menderita dengan tawa yang terus ada.

“Ini tak sepadan,”cetusku.

“Dengan apa?”

“Segalanya.”

Kau hanya menatapku waktu itu. Tatapan yang membuatku tak bisa berpaling darimu. Tapi, sungguh. Ini tak sepadan dengan apa yang telah dan akan terjadi.

“Kau dan aku tak bisa begini,”ucapku perlahan. “Ini akan melukai semuanya. Terutama kau dan aku.”


Kau masih dengan tatapan tajammu. Tahukah kau, tatapanmu membuatku lemah. Aku bahkan menurut saja padamu. Tapi, kali ini aku akan menentangmu. Habis-habisan.

Jatuh cinta padamu benar-benar membuatku jatuh. Jatuh dari kewarasanku sebagi makhluk individu dan sosial. Tidak perlahan. Terjun bebas.

“Kalau kau benar mencintaiku, kau tak kan begitu,”ucapmu tajam.

Aku tertegun. Kau meragukanku? Aku benar-benar ingin tertawa. Tertawa lepas.

“Hem..”
“Kenapa diam?”

Aku harus jawab apa? Menjawab keraguanmu? Itu sama saja menegakkan benang basah. Percuma. Sia-sia.

Keraguanmu menunjukkan kau tak bisa benar-benar mencintaiku. Kau hanya menganggapku pelarian, sekadar hiburan kala kau lelah. Atau hanya pelarian saat kau butuh perhatian. Tak lebih dari itu.

Kesadaran ini menyeruak. Namun, tetap saja aku masih mencintaimu.

Aku tak perlu membuktikan apa-apa padamu. Kau sudah tak percaya padaku. Jadi mengapa bertahan?

“Jadi, mengapa bertahan?”tanyaku pelan.

Kau diam.

Kita bertahan dalam diam. Dalam keheningan dengan gejolak dalam pikiran dan hati masing-masing. Kau dan aku haruskah terus begini?

“Mengapa berhenti?”kau balik bertanya.

“Ini sungguh tak sepadan. Kau terluka. Aku terluka. Semua orang terluka. Mengapa bertahan?”

“Sepadan dengan apa? Kau dan aku sudah sejauh ini, akan berhenti?”

“Lalu bagaimana mau berlanjut? Semua ini hanya fatamorgana. Sejuknya hanya terlihat kejauhan. Di dalam, hanya ada api gelisah. Ketakutan pada hal yang tak pernah tahu akhirnya.”

“Takut apa? Kita sudah berani memulai ini, dan kau masih tak berani menanggung risikonya?”

“Bukan begitu.”

“Lalu apa? Kau takut semua orang menghakimimu? Menuduhmu dengan segala prasangka mereka. Sudahlah, biarkan saja.”

“Biarkan?”

“Iya, biarkan saja. Mereka tak mengerti apa yang terjadi pada kita.”

“Kau tak mengerti,”jawabku lirih.

“Tak mengerti apa lagi?”tanyamu dengan nada tinggi.

Aku menahan tangis yang sudah mendesak di dadaku. Menahan dengan sungguh agar tak ada lagi perasaan yang keluar.

Perbedaaan mendasar kita adalah kau laki-laki dan aku perempuan. Seharusnya saling melengkapi. Namun, kenyataannya sungguh membuat perih.

Kau laki-laki. Tahukah kau perasaan perempuan? Tiap hari mendengarkan gumaman, celaan yang terselubung, bahkan gosip yang terang-terangan, itu membuat sesak. Tahukah kau, aku menangis meski aku selalu tertawa dan tersenyum di hadapan mereka.

“Aku mencintaimu, kau mencintaiku, lalu buat apa kau pedulikan orang lain?”tuntutmu.

Apakah kau lupa? Kita tak hidup hanya berdua. Ada orang lain yang bergantung pada hidup kita. Ada orang lain yang mengharap kita lebih condong pada mereka.

Sebenarnya mengapa kau ini? Tuntutanmu padaku semakin banyak. Bukankah kita dulu sepakat tetap begini saja, tak lebih? Tak boleh ada pemaksaan katamu dulu. Kau tahu aku tak suka kau posesif. Kali ini rasa kepemilikanmu terasa sungguh menggigit.

Kau menatapku tajam. Lebih tajam dari biasanya. Lalu, perlahan meredup. Kulihat rapuh yang mulai menyelimuti tatapanmu.

“Kau tak mau hidup denganku?”tanyamu lirih.

Aku terpana. “Bukan begitu.”

“Kau tak benar-benar mencintaiku, kan? Kau tak mau hidup denganku. Itulah kenapa kau selalu mengelak membicarakan ini denganku.”

“Bukan itu maksudku. Kita tidak bisa membicarakan tentang kita sekarang. Kondisi kita benar-benar tak memungkinkan.”

Kau mulai diam. Masih memandangku dengan muram.

“Jika aku pergi dari semua ini, maukah kau terus bersamaku?”

Aku bingung.

“Jika keadaan kita tak begini, maukah kau hidup denganku?”

“Apa maksudmu?”

Kau hanya menatapku lekat-lekat.

Apa yang kau maksudkan meninggalkan semua ini, semua orang yang bergantung pada kita? Lalu, dengan egois, kita berjalan berdua tanpa mengindahkan sekeliling kita? Atau kita berlari dari kenyataan, tanpa malu, menyakiti sekeliling kita dan tertawa bahagia?

Itukah yang kau inginkan? Memutus kebahagiaan orang-orang yang bergantung pada kita, lalu mengabaikan mereka pada masa depan? Apakah kita nanti akan bahagia dengan keadaan itu? Apakah hidup kita akan tenang?

Mungkin kau bisa. Namun, aku tidak. Aku tak tega melihat orang-orang yang kusayangi bersedih. Mereka tak berdosa padaku. Akulah yang berdosa pada mereka.

“Ah, kau memang tak bisa bersamaku, bukan? Kau diam saja melihat aku menghadapi badai. Sendirian,”katamu lagi. Kekecewaan yang terasa menusuk.

Aku diam. Aku harus berbuat apa? Aku harus bagaimana? Aku tak punya pengalaman soal ini. Aku hanya tahu aku mencintaimu. Namun, tak paham bagaimana ini berlanjut atau bagaimana ini kuhadapi.

Badai itu pun kuhadapi dengan caraku sendiri. Sendirian. Mengharu biru sendiri, mengharap kau datang memelukku dan mengatakan semua akan baik-baik saja. Menghadapi segalanya berdua. Namun, kau pun tak ada. Aku harus menerima dan meyakinkan diriku, kau sedang berjuang di sana, dan tetap melindungiku, mencintaiku. Sebuah pengharapan dalam doa dan tangisku tiap hari di atas segala kegelisahanku.

Aku nelangsa. Cinta ini membuat nelangsa. Kau tak tahu, bukan? Aku menangis dalam hati, menahannya tetap di dalam. Sementara di hadapan orang-orang aku masih harus tersenyum dan tertawa.

Saat kau marah, kau bungkam, aku menahan isakku. Menahan kerinduan. Rindu yang aku takut mengungkapkan. Rindu yang menekan jantungku. Rindu yang tak sanggup kuabaikan meski kucoba membunuhnya. Itu melelahkan. Namun, tetap kujalani.

Memandangmu saja dari kejauhan. Menahan tanganku yang ingin menggenggammu, memelukmu. Menahan hasratku untuk menahanmu di sisiku.

“Aku sungguh menyayangimu,”bisikmu.

Ada keputusasaan dalam nada suaramu. Bahkan, kekecewaan. Aku harus bagaimana? Aku tak tahu akhirnya nanti.

“Maaf,”bisikku sambil menahan air mataku.

Maaf, aku pun mencintaimu, dan setiap hari jatuh hati padamu. Aku selalu mengharapkan kau datang dan tersenyum hanya buatku. Aku selalu mendoakanmu agar hanya hidup untukku dan bahagia.

Maafkan aku, sungguh, maaf, untuk segala cinta yang ku punya buatmu. Untuk segala cinta yang kau punya buatku. Maaf, karena aku akhirnya tak tahu harus berbuat apa dengan cinta ini.


Semarang,  November 2017
ps:
matahari, matahari, matahari

mantraku menjalani hari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar