Fatamorgana,
bukan? Terlihat indah, tetapi tak nyata. Itu sama halnya dengan memandangmu.
Kau dengan segala yang ada padamu. Iya, kau!
Mencintaimu
adalah hal yang paling aneh dalam hidupku. Betapa tidak, kau dan aku tak kan
pernah bisa hidup di jalan yang sama, apalagi atap yang sama. Sebenarnya itu
sudah terbukti dengan jauhnya rentang waktu antara kau dan aku selama ini.
Pernahkah
kau memikirkan sejauh mana rasa yang ada akan berkembang? Sejak awal kita sudah
memilih jalan yang berbeda. Jalan yang tak bisa kita paksakan untuk seiring dan
searah. Jalan yang justru akan membuat kita menderita dengan tawa yang terus
ada.
“Ini
tak sepadan,”cetusku.
“Dengan
apa?”
“Segalanya.”
Kau
hanya menatapku waktu itu. Tatapan yang membuatku tak bisa berpaling darimu.
Tapi, sungguh. Ini tak sepadan dengan apa yang telah dan akan terjadi.
“Kau
dan aku tak bisa begini,”ucapku perlahan. “Ini akan melukai semuanya. Terutama
kau dan aku.”
Kau
masih dengan tatapan tajammu. Tahukah kau, tatapanmu membuatku lemah. Aku
bahkan menurut saja padamu. Tapi, kali ini aku akan menentangmu. Habis-habisan.
Jatuh
cinta padamu benar-benar membuatku jatuh. Jatuh dari kewarasanku sebagi makhluk
individu dan sosial. Tidak perlahan. Terjun bebas.
“Kalau
kau benar mencintaiku, kau tak kan begitu,”ucapmu tajam.
Aku
tertegun. Kau meragukanku? Aku benar-benar ingin tertawa. Tertawa lepas.
“Hem..”
“Kenapa
diam?”
Aku
harus jawab apa? Menjawab keraguanmu? Itu sama saja menegakkan benang basah.
Percuma. Sia-sia.
Keraguanmu
menunjukkan kau tak bisa benar-benar mencintaiku. Kau hanya menganggapku
pelarian, sekadar hiburan kala kau lelah. Atau hanya pelarian saat kau butuh
perhatian. Tak lebih dari itu.
Kesadaran
ini menyeruak. Namun, tetap saja aku masih mencintaimu.
Aku
tak perlu membuktikan apa-apa padamu. Kau sudah tak percaya padaku. Jadi
mengapa bertahan?
“Jadi,
mengapa bertahan?”tanyaku pelan.
Kau
diam.
Kita
bertahan dalam diam. Dalam keheningan dengan gejolak dalam pikiran dan hati
masing-masing. Kau dan aku haruskah terus begini?
“Mengapa
berhenti?”kau balik bertanya.
“Ini
sungguh tak sepadan. Kau terluka. Aku terluka. Semua orang terluka. Mengapa
bertahan?”
“Sepadan
dengan apa? Kau dan aku sudah sejauh ini, akan berhenti?”
“Lalu
bagaimana mau berlanjut? Semua ini hanya fatamorgana. Sejuknya hanya terlihat
kejauhan. Di dalam, hanya ada api gelisah. Ketakutan pada hal yang tak pernah
tahu akhirnya.”
“Takut
apa? Kita sudah berani memulai ini, dan kau masih tak berani menanggung
risikonya?”
“Bukan
begitu.”
“Lalu
apa? Kau takut semua orang menghakimimu? Menuduhmu dengan segala prasangka
mereka. Sudahlah, biarkan saja.”
“Biarkan?”
“Iya,
biarkan saja. Mereka tak mengerti apa yang terjadi pada kita.”
“Kau
tak mengerti,”jawabku lirih.
“Tak
mengerti apa lagi?”tanyamu dengan nada tinggi.
Aku
menahan tangis yang sudah mendesak di dadaku. Menahan dengan sungguh agar tak
ada lagi perasaan yang keluar.
Perbedaaan
mendasar kita adalah kau laki-laki dan aku perempuan. Seharusnya saling
melengkapi. Namun, kenyataannya sungguh membuat perih.
Kau
laki-laki. Tahukah kau perasaan perempuan? Tiap hari mendengarkan gumaman, celaan
yang terselubung, bahkan gosip yang terang-terangan, itu membuat sesak. Tahukah
kau, aku menangis meski aku selalu tertawa dan tersenyum di hadapan mereka.
“Aku
mencintaimu, kau mencintaiku, lalu buat apa kau pedulikan orang lain?”tuntutmu.
Apakah
kau lupa? Kita tak hidup hanya berdua. Ada orang lain yang bergantung pada
hidup kita. Ada orang lain yang mengharap kita lebih condong pada mereka.
Sebenarnya
mengapa kau ini? Tuntutanmu padaku semakin banyak. Bukankah kita dulu sepakat
tetap begini saja, tak lebih? Tak boleh ada pemaksaan katamu dulu. Kau tahu aku
tak suka kau posesif. Kali ini rasa kepemilikanmu terasa sungguh menggigit.
Kau
menatapku tajam. Lebih tajam dari biasanya. Lalu, perlahan meredup. Kulihat
rapuh yang mulai menyelimuti tatapanmu.
“Kau
tak mau hidup denganku?”tanyamu lirih.
Aku
terpana. “Bukan begitu.”
“Kau
tak benar-benar mencintaiku, kan? Kau tak mau hidup denganku. Itulah kenapa kau
selalu mengelak membicarakan ini denganku.”
“Bukan
itu maksudku. Kita tidak bisa membicarakan tentang kita sekarang. Kondisi kita
benar-benar tak memungkinkan.”
Kau
mulai diam. Masih memandangku dengan muram.
“Jika
aku pergi dari semua ini, maukah kau terus bersamaku?”
Aku
bingung.
“Jika
keadaan kita tak begini, maukah kau hidup denganku?”
“Apa
maksudmu?”
Kau
hanya menatapku lekat-lekat.
Apa
yang kau maksudkan meninggalkan semua ini, semua orang yang bergantung pada
kita? Lalu, dengan egois, kita berjalan berdua tanpa mengindahkan sekeliling
kita? Atau kita berlari dari kenyataan, tanpa malu, menyakiti sekeliling kita
dan tertawa bahagia?
Itukah
yang kau inginkan? Memutus kebahagiaan orang-orang yang bergantung pada kita,
lalu mengabaikan mereka pada masa depan? Apakah kita nanti akan bahagia dengan
keadaan itu? Apakah hidup kita akan tenang?
Mungkin
kau bisa. Namun, aku tidak. Aku tak tega melihat orang-orang yang kusayangi
bersedih. Mereka tak berdosa padaku. Akulah yang berdosa pada mereka.
“Ah,
kau memang tak bisa bersamaku, bukan? Kau diam saja melihat aku menghadapi
badai. Sendirian,”katamu lagi. Kekecewaan yang terasa menusuk.
Aku
diam. Aku harus berbuat apa? Aku harus bagaimana? Aku tak punya pengalaman soal
ini. Aku hanya tahu aku mencintaimu. Namun, tak paham bagaimana ini berlanjut
atau bagaimana ini kuhadapi.
Badai
itu pun kuhadapi dengan caraku sendiri. Sendirian. Mengharu biru sendiri,
mengharap kau datang memelukku dan mengatakan semua akan baik-baik saja. Menghadapi
segalanya berdua. Namun, kau pun tak ada. Aku harus menerima dan meyakinkan
diriku, kau sedang berjuang di sana, dan tetap melindungiku, mencintaiku. Sebuah
pengharapan dalam doa dan tangisku tiap hari di atas segala kegelisahanku.
Aku
nelangsa. Cinta ini membuat nelangsa. Kau tak tahu, bukan? Aku menangis dalam
hati, menahannya tetap di dalam. Sementara di hadapan orang-orang aku masih
harus tersenyum dan tertawa.
Saat
kau marah, kau bungkam, aku menahan isakku. Menahan kerinduan. Rindu yang aku
takut mengungkapkan. Rindu yang menekan jantungku. Rindu yang tak sanggup
kuabaikan meski kucoba membunuhnya. Itu melelahkan. Namun, tetap kujalani.
Memandangmu
saja dari kejauhan. Menahan tanganku yang ingin menggenggammu, memelukmu. Menahan
hasratku untuk menahanmu di sisiku.
“Aku
sungguh menyayangimu,”bisikmu.
Ada
keputusasaan dalam nada suaramu. Bahkan, kekecewaan. Aku harus bagaimana? Aku
tak tahu akhirnya nanti.
“Maaf,”bisikku
sambil menahan air mataku.
Maaf,
aku pun mencintaimu, dan setiap hari jatuh hati padamu. Aku selalu mengharapkan
kau datang dan tersenyum hanya buatku. Aku selalu mendoakanmu agar hanya hidup
untukku dan bahagia.
Maafkan
aku, sungguh, maaf, untuk segala cinta yang ku punya buatmu. Untuk segala cinta
yang kau punya buatku. Maaf, karena aku akhirnya tak tahu harus berbuat apa
dengan cinta ini.
Semarang, November 2017
ps:
matahari, matahari, matahari
mantraku menjalani hari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar