Sekapur Sirih

Selamat datang di Cerita Kehidupan...
Terima kasih telah mengunjungi saya di sini...
Blog ini berisi catatan-catatankecil saya, tulisan-tulisan saya selama ini, baik berupa tulisan fiksi, nonfiksi, atau pun hanya catatan ringan..
Sebelum membuka blog ini lebih jauh, Anda diharapkan:
1. Jangan meng-copypaste tulisan di blog ini tanpa menyertakan link alamat blog ini http://ceritahidupdaning.blogspot.com seperti saya juga akan menyertakan link blog yang saya copypaste jika saya meng-copypaste tulisan orang lain
2. Menghargai tulisan-tulisan di blog ini adalah hasil karya seseorang yang dibuat sepenuh hati
3. Berilah komentar dengan hati nurani dan jujur agar saya bisa lebih baik dalam menulis di blog ini
Demikian, terima kasih telah meluangkan waktu membaca catatan kecil saya....

Senin, 22 Oktober 2012

Melepas Ingatan


Hampir tiba malam itu. Salah satu malam cerah musim penghujan. Hari kesepuluh. Seperti malam itu, hari kesepuluh lima bulan lalu.
Angin menyapa pendaran cahaya lampu kota. Berbaur dengan hiruk pikuk manusia di pinggir jalan. Dengan tatapan bulan separuh di langit yang teduh, bangunan bersejarah itu mulai ditinggalkan.
Entah berapa kali memutar, kita putuskan berhenti sejenak. Senyum itu seperti bulan sabit yang merona di matamu. Peluh itu seperti bening embun di garis wajahmu. Kata-kata mengalir senada aliran sungai di antara dinding-dinding batu.
Masihkah membekas di ingatanmu?
Aku sudah mencoba melupakan. Kenangan itu, renyah candamu, pahitnya nasihatmu, berputar-putar seperti roda-roda kuda besi kesayanganmu. Aku memang bodoh ataukah sedang membodohi diri sendiri? Atau keduanya? Sedang engkau, aku sadari, tak mungkin mengingat sepotong puzzle yang sudah tersembunyi dari kehidupanmu.
Hampir tiba waktu itu. Hari kesepuluh bulan ini. Telah berlalu lima bulan dan aku masih saja duduk menghadap jalan lingkar itu. Di tengah-tengah kota ini.
Gerimis tak membuatku beranjak. Kupandangi arah kau mungkin datang. Aku tahu, kau tak kan datang. Kesibukanmu bertambah banyak. Kau semakin terasa jauh dariku.
Musim sudah berganti. Tembakau-tembakau sudah kering. Bau tanah bercampur gerimis. Kau seperti angin barat yang tertiup ke utara.

Lamunanku tentang kau terhenti oleh ocehan sahabatku. Sudah waktunya pulang.
“Kau mengingatnya lagi, Nafi,”tegur  Ziya.
“Tidak,”sahutku cepat.
“Sudahlah, Nafi. Dia tak ada dan tak kan datang. Kau sudah janji. Kau tak kan mengingatnya lagi,”gugatnya.
“Aku sudah lupa, Ziya.”
“Jangan berbohong padaku. Aku tahu hatimu.”
“Sungguh, Ziya. Aku sudah melupakan dia.”
Itu bohong. Tak ada yang sungguh tahu hatiku, bukan? Aku benar-benar ingin melupakan engkau. Namun, mengingat atau pun melupakanmu sama menyakitkan buatku.
Kau itu bayang-bayang. Tak bisa ku kejar, tapi nyata di hadapan. Kau itu angin. Tak bisa ku pegang, tapi bisa kurasakan. Lalu, aku ini apa?
Aku hanya sekadar debu. Menatap engkau, rembulan biru. Sinar teduhmu sampai padaku. Hanya tanganku tak mampu menggapai bundarmu.
Kadang aku heran. Mengapa kau begitu membekas? Kau, rembulan biru, muncul sekali dalam seratus tahun.
Kadang aku lebih tak habis pikir. Kerasmu sungguh tak bisa kuterima. Mengapa aku santai saja menghadapinya?
Hampir tiba malam itu. Hari kesepuluh seperti lima bulan lalu dengan bulan separuh di batas garis langit.
Ziya masih menatapku tajam. Kulihat berjuta tanya di mata indahnya. Aku tahu. Semua itu tentang kau. Kau yang masih saja kusimpan di hatiku.
Ziya tak suka aku tenggelam dalam ingatan tentang kau. Baginya, kau bukan siapa-siapa. Ya, kau memang bukan siapa-siapaku. Hanya seorang kawan yang kukenal tak sengaja. Lalu, kedekatan itu menjadi bagian hari-hariku.
Siapa engkau? Engkau adalah guru. Pendidik salah satu pilar kehidupanku. Kata-katamu menginsipirasiku untuk berbuat sesuatu. Untuk diriku, juga orang lain.
Engkau adalah matahari. Pemberi kehangatan saat gerimis dan hujan menampar waktuku. Tatapanmu mengartikan segalanya. Menunjukkan lorong panjang penuh warna.
Ingin kuucapkan semua itu pada Ziya. Biar dia mengerti betapa kau berarti bagiku. Meski hanya bayang-bayang, itu cukup membuatku bertahan dalam duri hidup ini.
Ingin kubantah pikiran Ziya tentang engkau. Biar dia sadar betapa kau selalu ada untukku. Meski hanya sebatas rangkaian huruf, engkau nyata di hidupku.
Ziya menatapku. Ada keprihatinan di sana.
“Berhentilah, Nafi!” tegasnya. “Berhenti demi dirimu sendiri. Sampai kapan kau akan hidup dalam bayang-bayang seperti ini? Bangun dan sadarkan dirimu, Nafi.”
Aku menatap Ziya tanpa kedip. Kucoba memahami kata-katanya. Berhenti. Sanggupkah aku berhenti mengingatmu? Sanggupkah aku berdiri tanpa bayang-bayangmu?
“Kau harus sanggup,” tandas Ziya seolah bisa membaca pikiranku. “Mari kita mulai sekarang, Nafi.”
“Sekarang?”
“Iya, sekarang. Mulailah dengan bangun dari tempat ini. Aku mulai muak dengan kau dan tempat ini. Tak ada yang kau perbuat. Kau hanya diam memandang sesuatu yang tak ada. Bangunlah. Kita tinggalkan tempat ini.”
Meninggalkan tempat ini. Aku mengulang kata-kata Ziya dalam hati. Itu berarti aku harus melepaskan harapan untuk bisa berjumpa dengan engkau lagi. Tidak hanya melepaskanmu dari ingatan hatiku. Aku harus melepaskan diriku sendiri dari angan-anganku.
Kupandangi jalan raya di hadapanku. Ada perih menyeruak di dadaku. Seperti sesuatu ditusukkan ke jantungku. Aku mengingat engkau sekali lagi. Teduhnya sinar matamu. Senyum bulan sabitmu. Racun dan madu ucapmu.
Kupalingkan pandangku ke wajah Ziya. Kuulurkan tanganku. Ziya menatapku tak mengerti.
Aku tersenyum.
“Bawa aku pergi dari sini, Ziya. Kembalikan aku ke kehidupan.”
Ziya tersenyum menyambut tanganku. Kami berdiri, berjalan pulang. Meninggalkan pusat kota ini. Meninggalkan mimpi yang tak pasti.
Tiba-tiba dadaku berdesir. Langkahku terhenti. Aku merasakan engkau lagi. Engkau begitu dekat denganku. Tapi, di mana?
Kuedarkan pandangku ke seluruh penjuru. Kau tak ada.
“Ada apa?”
“Tak apa, Ziya. Mari, kita pulang.”
Namun, hatiku yakin, kau ada di dekatku. Benarkah? Entah. Aku harus menghapusmu dari ingatanku.*)

3 komentar: