Hampir tiba malam itu. Salah satu malam cerah musim
penghujan. Hari kesepuluh. Seperti malam itu, hari kesepuluh lima bulan lalu.
Angin menyapa pendaran cahaya lampu kota. Berbaur
dengan hiruk pikuk manusia di pinggir jalan. Dengan tatapan bulan separuh di
langit yang teduh, bangunan bersejarah itu mulai ditinggalkan.
Entah berapa kali memutar, kita putuskan berhenti
sejenak. Senyum itu seperti bulan sabit yang merona di matamu. Peluh itu
seperti bening embun di garis wajahmu. Kata-kata mengalir senada aliran sungai
di antara dinding-dinding batu.
Masihkah membekas di ingatanmu?
Aku sudah mencoba melupakan. Kenangan itu, renyah
candamu, pahitnya nasihatmu, berputar-putar seperti roda-roda kuda besi
kesayanganmu. Aku memang bodoh ataukah sedang membodohi diri sendiri? Atau
keduanya? Sedang engkau, aku sadari, tak mungkin mengingat sepotong puzzle
yang sudah tersembunyi dari kehidupanmu.
Hampir tiba waktu itu. Hari kesepuluh bulan ini.
Telah berlalu lima bulan dan aku masih saja duduk menghadap jalan lingkar itu.
Di tengah-tengah kota ini.
Gerimis tak membuatku beranjak. Kupandangi arah kau
mungkin datang. Aku tahu, kau tak kan datang. Kesibukanmu bertambah banyak. Kau
semakin terasa jauh dariku.
Musim sudah berganti. Tembakau-tembakau sudah
kering. Bau tanah bercampur gerimis. Kau seperti angin barat yang tertiup ke
utara.
Lamunanku tentang kau terhenti oleh ocehan
sahabatku. Sudah waktunya pulang.
“Kau mengingatnya lagi, Nafi,”tegur Ziya.
“Tidak,”sahutku cepat.
“Sudahlah, Nafi. Dia tak ada dan tak kan datang. Kau
sudah janji. Kau tak kan mengingatnya lagi,”gugatnya.
“Aku sudah lupa, Ziya.”
“Jangan berbohong padaku. Aku tahu hatimu.”
“Sungguh, Ziya. Aku sudah melupakan dia.”
Itu bohong. Tak ada yang sungguh tahu hatiku, bukan?
Aku benar-benar ingin melupakan engkau. Namun, mengingat atau pun melupakanmu
sama menyakitkan buatku.
Kau itu bayang-bayang. Tak bisa ku kejar, tapi nyata
di hadapan. Kau itu angin. Tak bisa ku pegang, tapi bisa kurasakan. Lalu, aku
ini apa?
Aku hanya sekadar debu. Menatap engkau, rembulan
biru. Sinar teduhmu sampai padaku. Hanya tanganku tak mampu menggapai bundarmu.
Kadang aku heran. Mengapa kau begitu membekas? Kau,
rembulan biru, muncul sekali dalam seratus tahun.
Kadang aku lebih tak habis pikir. Kerasmu sungguh
tak bisa kuterima. Mengapa aku santai saja menghadapinya?
Hampir tiba malam itu. Hari kesepuluh seperti lima
bulan lalu dengan bulan separuh di batas garis langit.
Ziya masih menatapku tajam. Kulihat berjuta tanya di
mata indahnya. Aku tahu. Semua itu tentang kau. Kau yang masih saja kusimpan di
hatiku.
Ziya tak suka aku tenggelam dalam ingatan tentang
kau. Baginya, kau bukan siapa-siapa. Ya, kau memang bukan siapa-siapaku. Hanya
seorang kawan yang kukenal tak sengaja. Lalu, kedekatan itu menjadi bagian
hari-hariku.
Siapa engkau? Engkau adalah guru. Pendidik salah
satu pilar kehidupanku. Kata-katamu menginsipirasiku untuk berbuat sesuatu.
Untuk diriku, juga orang lain.
Engkau adalah matahari. Pemberi kehangatan saat
gerimis dan hujan menampar waktuku. Tatapanmu mengartikan segalanya.
Menunjukkan lorong panjang penuh warna.
Ingin kuucapkan semua itu pada Ziya. Biar dia
mengerti betapa kau berarti bagiku. Meski hanya bayang-bayang, itu cukup
membuatku bertahan dalam duri hidup ini.
Ingin kubantah pikiran Ziya tentang engkau. Biar dia
sadar betapa kau selalu ada untukku. Meski hanya sebatas rangkaian huruf, engkau
nyata di hidupku.
Ziya menatapku. Ada keprihatinan di sana.
“Berhentilah, Nafi!” tegasnya. “Berhenti demi dirimu
sendiri. Sampai kapan kau akan hidup dalam bayang-bayang seperti ini? Bangun
dan sadarkan dirimu, Nafi.”
Aku menatap Ziya tanpa kedip. Kucoba memahami
kata-katanya. Berhenti. Sanggupkah aku berhenti mengingatmu? Sanggupkah aku
berdiri tanpa bayang-bayangmu?
“Kau harus sanggup,” tandas Ziya seolah bisa membaca
pikiranku. “Mari kita mulai sekarang, Nafi.”
“Sekarang?”
“Iya, sekarang. Mulailah dengan bangun dari tempat
ini. Aku mulai muak dengan kau dan tempat ini. Tak ada yang kau perbuat. Kau hanya
diam memandang sesuatu yang tak ada. Bangunlah. Kita tinggalkan tempat ini.”
Meninggalkan tempat ini. Aku mengulang kata-kata
Ziya dalam hati. Itu berarti aku harus melepaskan harapan untuk bisa berjumpa
dengan engkau lagi. Tidak hanya melepaskanmu dari ingatan hatiku. Aku harus
melepaskan diriku sendiri dari angan-anganku.
Kupandangi jalan raya di hadapanku. Ada perih
menyeruak di dadaku. Seperti sesuatu ditusukkan ke jantungku. Aku mengingat engkau
sekali lagi. Teduhnya sinar matamu. Senyum bulan sabitmu. Racun dan madu
ucapmu.
Kupalingkan pandangku ke wajah Ziya. Kuulurkan tanganku.
Ziya menatapku tak mengerti.
Aku tersenyum.
“Bawa aku pergi dari sini, Ziya. Kembalikan aku ke
kehidupan.”
Ziya tersenyum menyambut tanganku. Kami berdiri,
berjalan pulang. Meninggalkan pusat kota ini. Meninggalkan mimpi yang tak
pasti.
Tiba-tiba dadaku berdesir. Langkahku terhenti. Aku merasakan
engkau lagi. Engkau begitu dekat denganku. Tapi, di mana?
Kuedarkan pandangku ke seluruh penjuru. Kau tak ada.
“Ada apa?”
“Tak apa, Ziya. Mari, kita pulang.”
“Tak apa, Ziya. Mari, kita pulang.”
Namun, hatiku yakin, kau ada di dekatku. Benarkah?
Entah. Aku harus menghapusmu dari ingatanku.*)
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusbikin saya baper bu.. hahah
BalasHapusJendela Nonton Bioskop xxx Dan Lain-Lain Ada Di Sini Pokoknya
BalasHapusxxx croot
xxx hoot
xxx basah
xxx birahi
xxx semi
xxx horni