Sekapur Sirih

Selamat datang di Cerita Kehidupan...
Terima kasih telah mengunjungi saya di sini...
Blog ini berisi catatan-catatankecil saya, tulisan-tulisan saya selama ini, baik berupa tulisan fiksi, nonfiksi, atau pun hanya catatan ringan..
Sebelum membuka blog ini lebih jauh, Anda diharapkan:
1. Jangan meng-copypaste tulisan di blog ini tanpa menyertakan link alamat blog ini http://ceritahidupdaning.blogspot.com seperti saya juga akan menyertakan link blog yang saya copypaste jika saya meng-copypaste tulisan orang lain
2. Menghargai tulisan-tulisan di blog ini adalah hasil karya seseorang yang dibuat sepenuh hati
3. Berilah komentar dengan hati nurani dan jujur agar saya bisa lebih baik dalam menulis di blog ini
Demikian, terima kasih telah meluangkan waktu membaca catatan kecil saya....

Sabtu, 08 Oktober 2011

MATAHARI TERBIT DI PADANG

Matahari yang kau berikan dulu, kini cahayanya tinggal seperti rembulan yang berpendar suram. Perlahan semakin meredup. Lalu, akan tinggal sekerlip seperti bintang.
Begitu tulisan pendek yang dia kirimkan. Dia dulu memberikan pendar cahaya di kedua matanya saat tersenyum. Kini, dengan ribuan kilometer jarak kami, setelah ratusan hari-mungkin sudah lebih dari seribu hari- terlewati, dia hanya mengirimkan tiga kalimat.
Namanya Nurmala. Dia bidadariku, yah, bolehlah dibilang begitu. Kami bertemu di belantara yang jauh lebih kejam, Jakarta. Dia sedang memperdalam ilmu ekonomi di UI. Dia ingin mewujudkan cita-cita ayahnya, pedagang kain di Padang.
Waktu itu, aku iseng-iseng berkelana di Jakarta. Bersama sahabat dekatku, kutinggalkan Bogor, tempat ku bernaung empat tahun terakhir. Alasannya sederhana, ingin merasakan hiruk-pikuk metropolitan ini sebelum memulai pertapaan. Alasan yang aneh. Namun, sekarang kusyukuri kekonyolan kami itu. Pertama, aku bertemu Nurmala. Kedua, “pertapaan” di pedalaman Papua ini memang benar-benar jauh dari keramaian.
Aku tersenyum sendiri. Kenangan akan senyuman manis Nurmala waktu itu membuatku melambung. Siapa yang menyangka aku mendapatkan Nurmala. Sarjana kehutanan ini sudah lebih mirip orang utan sekarang.
Surat itu masih tergeletak di bangku kayu di depan pondok. Aku tak tahu harus bagaimana. Rasa penasaran menggelitik hatiku. Apa surat ini satu isyarat dia hendak meninggalkanku? Apa dia sudah tak sanggup lagi menungguku keluar dari belantara ini? Sesaat aku memaki diriku sendiri yang mau saja menerima pekerjaan ini. Jauh dalam belantara Papua. Kalau saja aku tak terlalu terobsesi dengan hutan, mungkin ku masih bisa menatap senyum Nurmala. Ah!
Ego laki-lakiku terluka. Aku tak mau kalah begini. Aku harus cari tahu. Ya, aku harus cari tahu.

Satu surat lagi yang masih harus kubaca. Hem, dari kantor. Isinya cuma pemberitahuan agar aku segera menyerahkan laporan bulanan ke Jayapura. Tenggat waktunya hanya tinggal lima hari. Perjalanan dari pedalaman ke Jayapura memakan dua hari. Itu berarti besok aku mesti segera berangkat.
Perjalanan ke Jayapura menyiksaku. Kalimat-kalimat dalam surat Nurmala berdenging di telingaku. Rasanya sakit. Perlu ketabahan luar biasa untuk menampilkan senyum palsu di hadapan kepala kantor. Juga senyum palsu buat teman-teman sejawat.
Di lobi kantor aku tergugu sejenak. Belasan pegawai yang menatap layar televisi tanpa berkedip. Ku tatap layar itu. Aku terkesiap. Jadi inilah maksud Nurmala. Padang diguncang gempa seminggu yang lalu. Ah, bodohnya aku. Tungkaiku terasa lemas.
“Sudah berapa hari?”tanyaku pada Sitohang.
“Apanya?”
“Gempa,”desisku.
“Seminggu. Kemarin Jawa juga kena. Manokwari juga. Tapi tak sehebat di Padang.”
Aku mendongak. Sitohang tersenyum. “Sudahlah, Har. Jauh dari rumahmu.”
“Berapa besar?”
“Sembilan skala Richter. Eh, Har!”
Aku berlari kembali ke ruangan kepala kantor. Terengah-engah kuajukan cuti tahunan yang sudah tiga tahun tak kuambil. Kepala kantor hanya menggeleng-gelengkan kepala.
“Tolong, Pak.”
“Kenapa, Har?”
“Saya harus ke Padang.”
“Jadi sukarelawan?”tanya kepala kantor sambil tersenyum.
“Menemui tulang rusuk saya.”
Kepala kantor terbengong. Dikabulkannya satu bulan cutiku. Setengah berlari kutemui Sitohang tanpa mempedulikan kepala kantor yang masih kebingungan.
Berita aku cuti satu bulan membuat semua orang kantor geger. Tiga tahun tak pernah cuti, lalu mendadak cuti tanpa alasan yang masuk akal. Aku tak peduli.
Perjalanan maraton dari Jayapura-Makassar, Makassar-Jakarta kulalui tanpa istirahat. Di Jakarta aku menelepon ibuku sebentar. Mengabarkan aku cuti ke Padang. Ibuku berteriak melarangku. Namun, aku bersikeras.
Penerbangan dari Jakarta ke Padang kurasakan terlalu lama. Aku sudah tak sabar menemui Nurmala. Apa yang sebenarnya terjadi?
Perlahan ku masuki halaman rumah Nurmala. Berbagai barang berserakan di sana.
“Assalammualaikum.”
Sesosok wanita setengah baya berwajah pucat menyambutku. Wajahnya ingin tahu.
“Saya Hari Suroto. Teman Nurmala.”
Wanita itu terdiam. Aku terdiam. Di benakku muncul berbagai kemungkinan terburuk. Bagaimana kalau Nurmala sudah menikah? Atau yang lebih buruk, bagaimana kalau dia sudah…meninggal?
“Siapo itu Mak?” Sebuah suara terdengar dari dalam. Suara yang begitu kurindukan.
Sesosok tubuh mengesot perlahan di lantai rumah. Dengan kedua tangannya, tubuh itu mencoba menggerakkan tubuhnya. Dia itu..Nurmala!
Kutatap wajahnya yang hampir menangis. Kedua tangannya utuh. Hanya kedua kakinya buntung terkena reruntuhan tembok. Aku terpana. Inilah gadis yang membuatku perjalanan maraton dari Jayapura ke Padang.
 “Aku akan menikahimu, Nur.”
Sebuah pernyataan yang membuatku lega. Namun, Nurmala menggeleng. Dia hanya menatap kaki buntungnya hampa.
“Meski hanya jadi kerlip bintang, atau nyala lilin sekalipun, aku akan tetap menikahimu, Nur. Kau tetap matahari buatku.”
Nurmala terpana. Aku tersenyum untuknya. Dia bergumam,”Ibumu..”
Ini akan jadi pukulan berat buat keluargaku. Terutama ibuku. Aku tak peduli.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar