Sekapur Sirih

Selamat datang di Cerita Kehidupan...
Terima kasih telah mengunjungi saya di sini...
Blog ini berisi catatan-catatankecil saya, tulisan-tulisan saya selama ini, baik berupa tulisan fiksi, nonfiksi, atau pun hanya catatan ringan..
Sebelum membuka blog ini lebih jauh, Anda diharapkan:
1. Jangan meng-copypaste tulisan di blog ini tanpa menyertakan link alamat blog ini http://ceritahidupdaning.blogspot.com seperti saya juga akan menyertakan link blog yang saya copypaste jika saya meng-copypaste tulisan orang lain
2. Menghargai tulisan-tulisan di blog ini adalah hasil karya seseorang yang dibuat sepenuh hati
3. Berilah komentar dengan hati nurani dan jujur agar saya bisa lebih baik dalam menulis di blog ini
Demikian, terima kasih telah meluangkan waktu membaca catatan kecil saya....

Sabtu, 08 Oktober 2011

Pertemuan Kenangan

Takdir membawaku ke kota ini. Tempat bayang-bayang yang sempat punah beberapa tahun silam. Jejak-jejaknya tiba-tiba memperjelas diri di hadapanku. Melahirkan garis lengkung yang bertumpuk-tumpuk.
Hendak ke mana aku mulai berjalan. Semuanya terasa berat saat akhirnya harus kembali menelan kenangan atau mungkin bisa juga disebut memuntahkan kenangan yang hampir menghilang. Itu berawal dari kau.
Pelan kutapaki jalan-jalan kota ini melihat pesatnya perubahan. Namun, beberapa masih mengingatkanku pada masa lalu. Di sisi jalan ini masih ada tempat kita pertama kali makan malam. Sayang, sekarang tempat itu tak lagi menampilkan menu yang sama. Mungkin pemiliknya sudah berganti.
Aku tersenyum mengingat malam itu. Kau yang bau keringat pulang bekerja tiba-tiba datang ke tempatku dan mengajakku makan malam. Padahal kau tahu aku sudah makan malam. Setengah memaksa kau bilang meluangkan waktu untukku sebelum berangkat lembur lagi. Ah, kau memang bisa saja membuatku mengalah.
Kau lebih banyak merokok dan bercerita daripada makan pesananmu. Binar di matamu mengatakan lebih banyak hal daripada ceritamu. Lalu, kau menatap wajahku. Tahukah kau, malam itu kau memberiku hal yang kuimpikan saat kau bilang kau ingin aku mendampingimu. Yah, impian seorang mahasiswi semester akhir yang berkali-kali hatinya tercabik oleh cinta. Kau memberikan sesuatu yang tak pernah terbayangkan.

Senyum di matamu meyakinkanku untuk menerima tawaranmu. Sejak malam itu, kau menjadi nyanyian peri-periku yang telah lama absen dari langit hatiku. Nyanyian yang membuatku kembali bersinar menapaki hari.
***
Sebenarnya semua baik-baik saja. Kau tetap bekerja dan aku tetap mengerjakan skripsiku. Tak pernah ada kecurigaan atau pertengkaran berarti. Setidaknya debat perbedaan pendapat tak pernah membuat kita menjauh. Lalu, mengapa ya dulu kita akhirnya berpisah?
Mengingatnya membuatku mengorek luka lama. Ah, bukan kejadian itu yang kusesali, melainkan keputusanku yang aku ambil dengan emosi tak terkendali. Jujur saja, tak ada sesuatu yang kupikirkan dengan tenang. Yang ada hanya rasa sakit terkhianati. Seharusnya kutanyakan dulu padamu, bukan?
Benci mengakui aku telah kalah dalam peperanganku sendiri. Bukan karena dia yang menghancurkan hubungan kita dengan mempermainkan perasaanku. Bukan pula kau yang bermain api di belakangku. Namun, lebih karena kebodohanku hingga semua berakhir menyakitkan.
Ya, aku telah kalah dalam perang yang kubangun sendiri. Kupikir aku bisa mengalahkan kecemburuan orang lain terhadap apa yang kita jalani. Kuikuti permainan yang dia mainkan dengan strateginya tanpa terpikir aku bisa terjebak di dalamnya. Ego yang menguasai hatiku saat itu.
Saat kau sibuk dengan proyek jalanmu, aku terperangkap dalam jerat mantan kekasihmu yang tak ingin melihat kau bahagia. Aku sebenarnya juga heran, dari mana dia mendapatkan nomor teleponku. Aku masih saja tak bisa percaya penjelasanmu.
Hem, persaingan antarwanita memang mengerikan. Kau tahu? Aku kalah dengan kata-katanya yang memelas. Katanya, kau telah merenggut hal paling berharganya. Bagaimana aku tidak shock atas pengakuan itu?
Hari-hariku jadi tak biasa. Teror demi teror dia lancarkan. Apa yang harus kulakukan sedangkan kau jauh di sana. Kau sudah jarang datang padaku. Aku semakin lama semakin tak sanggup melayani permainannya yang semakin kotor.
Kepercayaanku padamu semakin berkurang. Ditambah salah satu temanku mengatakan kau masih kekasih sahabatnya semasa sekolah. Kau lagi-lagi hanya bisa berkata, nanti akan kau jelaskan saat kau pulang. Itu bukannya membuatku tenang malah membuatku semakin gelisah.
Masih kuingat kau bilang bahwa kau benar ingin menikah denganku. Kau ingat? Kau bilang, tak perlu wanita cantik karena kau mencari istri yang hatinya cantik dan setia. Bahkan, kau bilang wanita cantik banyak di jalan, tapi tak ada yang bisa kau percaya. Lalu, apakah kau percaya padaku? Kau tak pernah bilang.
Bagaimana aku bisa percaya, saat kau bilang kau di tempat bibimu, dia, salah satu mantan kekasihmu (katamu), kau ada di tempatnya. Bagaimana aku bisa percaya, saat kau bilang kau tak datang karena urusan pekerjaan, mantan kekasihmu yang lain bilang kau ada di tempatnya. Siapa yang bisa kupercaya? Bahkan, teman-temanmu pun tak punya jawaban buatku.
Kadang kepercayaanku bertambah saat kau bilang, mereka hanya iri padaku. Namun, beberapa saat kemudian, kepercayaanku surut dengan tingkahmu sendiri. Ah, haruskah aku menyalahkanmu atas kegelisahan hatiku?
Di tengah kegelisahanku, datang teman-temanku. Meski jauh, mereka terus memberi dukungan padaku. Satunya adalah kenalan lamaku. Dia tempat aku berbagi cerita hingga kini. Dia yang memberikan penenangan saat aku mulai gundah. Sungguh, dialah yang membuatku masih bertahan denganmu.
Satunya lagi adalah orang yang akan membuatmu tampak seperti malaikat. Ya, dia seorang narapidana. Bukan berarti dia menyeretku dalam kekelaman hidupnya. Dia justru yang membantuku menghadapi mantan-mantan kekasihmu. Dari balik jeruji, dia menjatuhkan mantan kekasihmu dalam permainan gadis itu sendiri. Dia memang seorang kakak yang baik, yang tak ingin adiknya disakiti. Seorang preman yang hatinya lembut seperti kapas.
Jangan salah sangka dulu. Aku tak pernah berniat mengkhianatimu. Aku tak pernah melakukan itu. Kau. Kau kusangka telah mengkhianatiku atau gadis-gadismu yang lain berkali-kali. Kesadaran itu menyeruak di benakku. Mungkinkah karena itu mereka menerorku? Entahlah.
Yang aku tahu, aku mencintaimu saja. Itu cukup. Mungkin itulah penyebab aku tak bisa terima kenyataan ada banyak orang lain di antara kita. Terlalu lugukah aku sampai aku tak tahu apakah kau benar-benar mencintaiku atau tidak. Ataukah aku terlalu mudah tertipu?
Oya, masih ada cerita tentang mantan kekasihmu yang menderita sakit seumur hidupnya. Dialah yang menjadi pemikiranku untuk melepaskanmu. Aku tak tega berbahagia di atas sekaratnya orang lain yang begitu mencintaimu. Aku ingin melepaskanmu juga dari mantanmu yang lain. Maka kuaturlah segalanya.
Seandainya dia, mantanmu yang mahasiswa kebidanan itu, tahu bahwa temankulah yang menerornya sebagai balasan atas teror terhadapku, mungkin dia akan mengutukku. Aku akui, temanku sungguh keterlaluan dengan menganggap gadis itu gadis panggilan. Namun, anehnya, mantan kekasihmu itu tetap saja merespon ulah temanku. Temanku bilang, gadismu marah, tapi di baliknya, dia tetap merespon semuanya.
Kupikir-pikir kemudian, permainan ini berkembang tak karuan. Semua yang terlibat berusaha saling menjatuhkan. Aku tertawa dengan sakit tak terkira. Lama-lama, aku tak kuat menanggung semua sendirian. Namun, kau tak juga datang.
Kau tahu? Aku, gadis penyakitan, dan mahasiswa kebidanan itu sama. Sama-sama ingin mendapatkan kasihmu. Berjuang memainkan permainan kami sendiri. Lucunya, tak satu pun dari kami bertiga yang akhirnya memilikimu.
Aku, akhirnya bertekad melepaskanmu. Aku memang mencintaimu. Namun, ternyata tak cukup banyak untuk membuatku tegar tetap di sampingmu. Yang membuatku berbesar hati adalah kau. Getaran suaramu menahan tangismu. Itulah satu-satunya penghiburku kala kuputuskan mengakhiri semuanya.
Waktu itu kupikir, lebih baik kau bersama gadis penyakitan itu. Bukankah dia layak mendapatkan perhatian dan kasihmu lebih dari semuanya? Memang rasanya menyakitkan. Namun, aku harus bagaimana lagi?
Sudahlah. Aku tak akan berada di jalanmu lagi. Kukemasi semua perasaanku dan berdoa semua akan membaik pada waktunya. Sampai waktu pun berlalu tanpa terasa.
***
Aku percaya, kebahagiaanku tak harus bersamamu. Itu pula yang akhirnya membuatku mengambil jalan lain darimu. Aku mendapatkan orang yang memahamiku dan mengasihiku tanpa alasan apa pun. Dia, sahabatku dulu. Memang aneh, sudah jauh berjalan, ternyata tak menyadari yang di hadapan.
Tiba-tiba mantan kekasihmu, si gadis kebidanan, menghubungiku. Katanya, kau telah menemukan orang lain. Kupikir si gadis penyakitan. Ternyata orang lain lagi. Sambil tersenyum, aku sempat bergumam, berapa sih gadis di hidupmu.
Dunia maya mempertemukan kita lagi. Di sana aku mampu mengingatkanmu akan petualanganmu yang berakhir menyedihkan. Kuharap aku bisa membuatmu mengerti bahwa hidupmu tak bisa kausiakan dengan petualangan egomu. Kau harus tentukan jalan yang benar.
Kau akhirnya bilang telah menemukannya. Dia yang dulu hilang dari pandanganmu. Kau yakin dialah sisi hidupmu. Kubilang, semoga ini memang takdirmu yang terbaik karena aku sudah menemukan takdirku.
Itulah hal terakhir yang kuingat darimu. Aneh, aku tak merasa sakit hati sedikitpun. Aku lega. Benar-benar lega. Kebahagiaanku, kau, dan yang lain sudah ada garisnya masing-masing.
***
Takdir jugalah yang membawaku ke kota ini. Menyeretku kembali bertemu dengan kau. Setelah sekian tahun tak ada jalinan komunikasi. Kau tampak menua. Ya, mungkin waktu telah memakan keremajaan kita. Senyummu samar.
“Masih ingat aku?”
“Tentu saja.” Hem, bagaimana aku bisa melupakan kenangan pahitku denganmu. Namun, aku tetap tersenyum.
“Sudah lama sekali ya?”
Aku hanya mengangguk. “Berapa anakmu, Mas?”
“Satu. Perempuan.”
Kau memandangku penuh tanya. Aku menebak-nebak apa yang ada di benakmu. Namun, tak kutemukan apa-apa.
“Sekian lama, tapi aku masih tak mengerti,”katamu pelan.
Aku hanya bisa memandangmu tak mengerti.
“Aku tak mengerti mengapa kau tiba-tiba bilang ingin pergi dariku dulu. Kita baik-baik saja, bukan?”
Aku tersenyum janggal. “Ya, semua baik-baik saja.”
Kutangkap kegelisahan di wajahmu.
“Jangan kau cemas. Aku tak kan buat istrimu cemburu, Mas. Aku cuma ingin menjengukmu. Ku lihat namamu di papan pasien di depan. Jadi, kupikir tak ada salahnya menengok masa lalu sebentar,” kataku pelan.
Kau menggeleng.
“Aku tak cemaskan dia. Aku cemaskan kau. Apa yang terjadi dulu? Apa aku tak boleh bertanya?”tanyamu penuh harap.
Aku menghela nafas pelan. Aku coba tersenyum buatnya.
“Tak ada apa-apa, Mas. Anggap saja semuanya aku yang salah.”
“Bagaimana bisa? Apa karena ulahku waktu itu membuatmu terluka? Aku tahu aku salah. Aku hanya ingin menguji cintamu waktu itu,”desakmu pelan.
“Bukan karena itu. Sudahlah, Mas. Jangan diungkit lagi. Apa kau tak kasihan pada keluargamu?”
Ah, kau malah membuatku ingat kejadian itu. Kejadian yang mengoyak harga diriku. Untung saja aku masih punya kendali atas pikiranku.
Istrimu tiba-tiba datang. Aku bangkit untuk memperkenalkan diri. Dia memang cantik. Pantas, kau berjuang menembus kota di barat hingga di timur. Kemudian, aku menemukan alasan untuk pamit.
“Suamiku sudah menungguku di depan. Aku harus segera pulang. Maaf aku mengganggu istirahatmu, Mas. Semoga lekas sembuh.”
Kutinggalkan ruanganmu dengan selaksa perasaan. Aku tak perlu sedih dengan tak bersamamu. Aku bahagia. Hanya saja pertanyaanmu tadi membuatku merasa bersalah. Sanggupkah aku bilang padamu? Mungkin suatu saat nanti.
Atau mungkin akan kutulis saja biar kau baca. Namun, tidak sekarang. Nanti kau akan temukan saat kau baca cerita pendekku yang kubuat sebagai kenangan. Ya, itu saja.
Langkahku terasa ringan saat menuju sebuah kafe di sudut kota. Kukeluarkan notebookku setelah memesan secangkir cokelat panas. Lau, aku mulai menulis cerita ini. Cerita tentang aku dan kau. Sebuah permintaan maaf atas waktu yang telah berlalu. Maaf, karena semua itulah yang membuatku menemukan hidupku. Kebahagiaanku dengan suami dan tiga anakku.
***selesai
*)mengingat masa lalu bukan berarti mengingat dendam luka, melainkan mencoba memafkan diri sendiri atas segala yang pernah terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar