Sekapur Sirih

Selamat datang di Cerita Kehidupan...
Terima kasih telah mengunjungi saya di sini...
Blog ini berisi catatan-catatankecil saya, tulisan-tulisan saya selama ini, baik berupa tulisan fiksi, nonfiksi, atau pun hanya catatan ringan..
Sebelum membuka blog ini lebih jauh, Anda diharapkan:
1. Jangan meng-copypaste tulisan di blog ini tanpa menyertakan link alamat blog ini http://ceritahidupdaning.blogspot.com seperti saya juga akan menyertakan link blog yang saya copypaste jika saya meng-copypaste tulisan orang lain
2. Menghargai tulisan-tulisan di blog ini adalah hasil karya seseorang yang dibuat sepenuh hati
3. Berilah komentar dengan hati nurani dan jujur agar saya bisa lebih baik dalam menulis di blog ini
Demikian, terima kasih telah meluangkan waktu membaca catatan kecil saya....

Minggu, 09 Oktober 2011

Cinta Senyap

Aku menatap foto seorang laki-laki yang pernah hadir di sisiku. Malam pun semakin merambat naik. Kuusap foto itu. Perlahan kurasakan angin membawa hawanya ke sisiku. Aku merasa dia ada di hadapku.
Tak terasa air mataku menetes perlahan. Foto itu memburam oleh tetes-tetesnya. Kupejamkan mataku untuk menghalangi jatuhnya butiran-butiran kristal bening itu. Kusandarkan kepalaku dan kutatap langit-langit kamar. Ada bintang kecil jauh di khayalku yang menembus atap rumah.
Malam ini kesunyian memukulku lebih lama. Televisi kubiarkan menyala, menyiarkan pertandingan Barclays Premiership League alias Liga Primer Inggris. Aku tak peduli berapa gol yang diciptakan pemain-pemain Arsenal dan Chelsea. Mungkin aku masih mendengar sorak sorai pendukung mereka. Namun, aku tetap merasa sunyi.

***
Wajah itu selalu menyapaku dalam malam-malam sepi. Senyum tulus yang menemaniku melambungkan anganku. Ya, aku sudah jatuh cinta padanya sejak waktu itu. Dia datang memberikan aku sebuah lecutan baru untuk bangkit.
Dia, Erlangga Saputra, mengisi mimpi dan denyut hidupku mulai saat itu.

Setiap malam kutunggu dia dalam penantian yang kurasa amat panjang. Saat dia datang, kurasa matahari pun kalah benderang dengan aura wajahku. Aku jadi orang aneh. Seperti orang gila. Kadang senyum sendiri.
“Hai,” sapanya.
Aku tersenyum.
“Nggak pergi? Hari ini kan libur.”
Aku menggeleng.
Elang, panggilan akrabnya, duduk di depanku. Tayangan kuliner di televisi membuatnya tertarik.
“Enak kali ya, jadi presenter acara itu. Bisa makan enak terus setiap hari.”
Aku tersenyum. Kupandangi wajah yang setiap malam membayangi mimpiku itu. Bersih. Matanya berbinar seperti anak kecil mendapat hadiah pertama kali.
Senyumnya selalu ada mengiringi untaian kata yang keluar dari bibirnya. Lalu, dia memandangiku. Ada sinar tulus di matanya, juga sinar kesenyapan. Sinar kesenyapan yang sama saat kulihat cermin.
Namun, kelamaan sinar itu pudar. Penuh semangat dia bercerita tentang hidup. Masa lalu, kini, dan esok. Entah kenapa. Aku merasa bintang-bintang gemerlapan di antara kami.
Ya, aku mencintainya. Bahkan, aku semakin menemukan yang kucari dalam dirinya. Kedewasaan yang tak kudapatkan dari yang lain. Keceriaan tanpa muslihat. Kebaikan yang tulus.
Dan, malam-malam pun kembali bersahabat. Aku merasa kembali pada diriku yang lama terlupakan. Ya, aku menemukan sahabat berbagi satu hobi. Hobi yang menurut teman-temanku tak pantas untukku, seorang wanita. Nonton sepak bola dan balap motor. Menurutku, biasa saja tuh.
Dia teman bercerita yang menyenangkan. Juga partner debat yang mengasyikkan. Apalagi kalau nonton bola bareng. Ada saja yang membuat kamiberdebat. Dari materi pemain sampai jalannya pertandingan. Namun, ujung-ujungnya, kami tertawa bersama.
Memang, dia bukan pacarku. Tapi, aku mencintainya. Sungguh. Bahkan, aku tak pernah mencintai seorang lelaki seperti ini. Aku menerima begitu saja apa yang ada pada dirinya. Kelebihan juga kekurangannya.
Aku juga tak peduli dia pernah menyukai seorang wanita yang dekat denganku. Mungkin sampai kini masih. Aku tak peduli orang menyebut dia apa. Aku tak peduli mereka mengecap orang-orang seperti dia itu brengseklah, atau apalah. Yang aku peduli, dia ada di hadapku. Dia tersenyum buatku. Itu cukup.
Elang tetap menatapku dalam senyumnya. Dia tampak lebih dewasa dari orang-orang di sekitarnya.
“Hei, jangan melamun!” ujarnya.
Aku tersenyum. “Siapa yang melamun? Aku sedang berpikir kok.”
“Memikirkan apa? Eh, siapa? Aku?”
“Ih, geer kamu!”
“Terus?”
“Hidup.”
“Hidup?” Elang mengerenyitkan keningnya. “Hidup yang seperti apa?”
“Ya, hidup ini. Hari ini, besok, masa depan.”
Elang tertawa. Aku cemberut. Dia pikir aku ini bahan lelucon apa?
“Masa depan? Udahlah. Paling ntar kamu juga bakal nikah ma polisi.”
“Yeee, siapa yang mikirin nikah?! Lagipula, mungkin aja malah kamu yang bakal nikah ma perawat.”
“Seusia kita paling juga ujung-ujungnya mikirin itu kan? Tapi, kalau aku disuruh nikah ma perawat, ogah ah. Masa nggak jauh-jauh amat dari profesi keluargaku.”
Aku tertawa. “Makanya jangan doain orang apa yang nggak orang itu inginkan. Kena sendiri, rasain deh!”
Elang tertawa.
Mungkin, itu terakhir kali kulihat dia tertawa lepas di depanku. Malam-malam selanjutnya, dia menghilang. Meski tiap pagi kulihat dia melintas, aku tetap rindu kehadirannya. Rindu keberadaannya di sisiku.
Perjumpaanku dengannya hanya sebatas tegur sapa. Basa-basi, sekadar mengenal saja. Kikuk, segan, malu, dan entah apa lagi membaur jadi satu. Aku hanya bisa menatapnya dari balik jendela.
Kemudian, malam-malamku menjadi untaian doa untuknya. Elang. Erlangga Saputra telah menjadi prasasti di hatiku. Semakin dia jauh dari mataku, semakin melekat erat cinta di hatiku. Aku mencintainya. Sungguh.
Aku rindu. Pada sosoknya. Tawanya. Senyumnya. Sorot matanya yang tajam. Berdebat dengannya. Aku rindu pada keluhannya.
Aku jadi sering merenung. Juga melamun. Akhirnya, malam-malamku pun basah. Banjir air mata.

***
Kuusap foto itu perlahan. Aku mulai berbicara pada sosok di foto itu, Arya Mahendra. Arya, sahabat terdekat sekaligus cinta pertamaku.
“Aku seperti orang gila, Arya. Baru saja kutemukan dia. Dia sudah pergi. Pergi. Sama seperti kau!”
Aku menangis.
“Andai kau ada di sini, kau akan bilang apa? Aku tak boleh menangis? Aku ini manusia biasa. Aku juga bisa terluka. Kali ini aku benar-benar terluka.”
Kuusap tetesan bening di pipiku.
“Aku ingin tahu, Arya. Apa aku memang tak berhak dicintai oleh orang yang kucintai? Dulu kau pergi. Sekarang, Elang pun pergi. Tolong, Bantu aku!”
Aku terus meratap. Mataku sakit. Tapi, hatiku lebih sakit. Aku terus saja teringat Elang. Elang yang kini juga berubah. Lebih diam. Sering merenung. Mungkin melamun.
“Aku menyerah, Arya. Mungkin aku memang tak boleh merasakan cinta. Atau, inikah karma buatku? Atau, memang nasibku?”
“Aku menyerah. Biar saja sakit ini terus ada di hatiku. Biar saja cinta ini terus hidup dalam jiwaku. Aku tak ingin jatuh cinta lagi nanti. Aku takut.”
Ya, aku takut. Takut kesepianlah satu-satunya kawan hidupku. Aku takut air mata terus membasahi langkahku. Biar saja, aku tak kan jatuh cinta lagi lebih dulu sehabis luka ini mengering.
Kutatap wajah Arya di foto itu. Dia jauh berbeda dengan Elang. Tapi, mereka sama. Keduanya pernah jadi cinta dalam hidupku. Keduanya pun pergi dari hidupku tanpa pesan apa pun. Aku kembali merasa sunyi.
Senyap yang sebenar-benarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar